Jumat, 24 September 2010

Ingatkan Aku, Kita Bergantian

Sedari tadi Ku lihat Dani duduk termangu di balkon lantai 2 kos tempat kami tinggal setahun belakangan, tak sedikitpun ada gerakan pertanda ia hidup, sunyi. kuperhatikan pandangan matanya jauh ke depan, seperti sedang menjelajahi tempat-tempat tak bertuan di balik awan pekat, awan mendung. Kedua tangannya menopang dagu, dengan kaki duduk bersila.
“Dari tadi Dan di Sini? kok sendirian?”, sapaku yang berusaha mengembalikan dia dari perantauan imaji tak berkesudahan.“Iya”. jawabnya singkat.
“Puasa?” Tanyaku basa basi. Ini pengalaman pertamaku melaksanakan puasa dengannya.
“Dari Makan dan minum, entah puasa hati”. jawabnya ketus.“Maksudmu?”. aku terheran.
“Entahlah, sudah seperempat abad usiaku, aku belum menemukan makna puasa yang lebih dari hanya sekedar menahan makan, minum, marah, nafsu, atau apalah, semua serba hambar. lapar dan hausku tak jua menjadikanku paham arti kelaparan. aku masih bisa melampiaskan makan saat berbuka dan sahur, ini Cuma perkara memindahkan jadwal makan saja. menahan marah? aku sudah biasa. marah bukan kebiasaanku. Syahwat? Wanita single paling pintar menahan syahwat. Bukan pintar meng-akali, tapi karena tidak tahu cara melampiaskannya. Entahlah, aku ingin menggali lagi makna yg lebih dari itu semua. Aku ingin meng-akrabi hatiku, rohku.”
“Mengakrabi hati? Roh? Aku tidak paham”. Tanyaku penasaran.
“Bukankah tubuh ini terdiri dari jasmani dan rohani? Makan, minum, syahwat, itu semua perkara daging. Lalu mana yang perkara roh? Aku benar-benar tak paham ke-roh-anku, hatiku”. Dia melanjutkan“Ah kawan, kenapa kau terlalu kaku memisahkan antara keduanya? Bukankah itu menjadi kesatuan yang saling beriteraksi? Keduanya saling mempengaruhi bukan? Dan hatimu punya porsi yang lebih besar untuk mengendalikan. Ketika puasa, jasmani dikendalikan roh. Coba kalau tidak puasa, kita akan selalu melampiaskan. Roh menuntun daging, menahan.” Jawabku sekenanya.
Dani mulai berdialog ke “dalam”, antara pertanyaan dan jawaban, tentunya dibenaknya sendiri.
“Pertanyaan mendasar, ketika berbuka puasa, kita merasa bahagia, karena itu waktu yang kita nanti-nantikan. Pertanyaannya kemudian, bahagia kita karena apa? Karena telah berhasil MENAHAN atau karena bertemu dengan makanan-makanan enak yang telah kita timbun sejak sore tadi dan siap membalas dendam?” tanyaku.
Dani makin keras berdialog dalam ruang yang tak mampu ku hadir di dalamnya, ruangan imaginya sendiri.
“Coba aku Tanya, secara spiritual, selama ini apa yang kamu rasakan dengan berpuasa?” tanyaku lagi.
“Secara spiritual? Maksudmu?” tanyanya menjawab pertanyaanku.
Perasaan hatimu, rohmu. Bukankah kau ingin meng-akrabi hatimu? Untuk akrab, kau harus pahami dulu wujud dari hatimu itu, kepada siapa hatimu tertuju.
“Entahlah, kadang merasa lebih dekat denganNYA, menuju kepadaNYa, kadang tak pengaruh. Ah, bahkan mungkin lebih sering tak mempengaruhi, hanya kulakukan sebagai rutinitas keagamaan, sama seperti halnya sholat. Makanya aku ingin mencarinya, memahaminya, menjalaninya dengan hati.”
“Ah, aku jadi ingat isi kolom Hikmah di salah satu surat kabar harian, Teori Teilhard de Chardin kalau tidak salah, dia bilang: “We are not human beings having a spiritual experience. We are spiritual being a human experience.” (Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah makhluk bumi, melainkan makhluk langit).
“Allah bilang:“Puasa itu untukKU”. Pernah dengar hadits itu?”, lanjutku.
Dani menggeleng.
“hehehe, puas betul aku membuatmu makin terperangkap dalam jurang imajimu sendiri”. Kutepuk bahunya, “Sudahlah, nanti malam kita diskusikan lagi. Sholat dulu sana, siapa tahu ketemu jawabannya”. candaku memecah keseriusan.
“Nanti saja, aku belum “IN”, aku belum siap menghadapNYA. kepala ini masih penuh dengan perdebatan.”
“Santai aja Dan, terkadang, ada waktu di mana agama tidak untuk dipikirkan, tapi dijalani dengan kepasrahan. Tapi, terserah kamu saja, sebagai teman aku hanya mengingatkan. Menjalankan ibadah itu mutlak hak pribadi setiap orang. Toh sewaktu-waktu ada masa di mana kamu yang mengingatkan aku, kita bergantian.”
18.35 WIB
“Aku tarawih di kos saja, aku tidak menemukan kenikmatan sholat berjamaah di masjid”. pintanya kepadaku.
“Padahal aku baru saja ingin mengajakmu itikaf bersama di masjid selepas tarawih. kalau aku lebih senang berjamaah di masjid, pahalanya berkali lipat, dan juga ada suasana meriah kurasakan”. jawabku sedikit persuasif.
“Ah, lagi-lagi aku kehilangan makna sholat dan puasa dari kalimatmu itu.”
“Apa lagi ini?” Tanyaku penasaran.
“Kamu pikir, puasa dan sholat itu keramaian atau kesunyian?”
Aku terdiam, Kali ini aku yang dibuatnya berfikir, menyelami kata-kata yang kuucapkan sendiri barusan. dan akhirnya menggeleng.
“Tadi selepas Ashar, aku coba browsing hadist yang kau bilang. Kalau puasa itu untuk Allah semata, kenapa kita menciptakan kemeriahan? Bukankah seharusnya kesunyian? Kenapa harus Sholat berjamaah? kenapa itikaf harus di bangunan kubah yang kita sebut masjid?, kenapa tidak di rumah saja yang jelas-jelas menawarkan kesunyian? Bukankah puasa, sholat sekalipun, adalah ritual kita untuk hanya berdua-an denganNYA saja, aku sebagai roh, berpacaran dengan DIA si pencipta roh.”
Ah, kali ini dia benar-benar berhasil membawaku ke ruang imajinya, aku berfikir keras. “Aku pikir, kesunyian dan keramaian itu tidak terbatas dalam ruangan kasat mata. Di tengah keramaianpun aku bisa menghadirkan kesunyian. Itu semua tergantung apa yang jadi prioritasmu. Dalam sholat dan puasa, aku menghadirkan Allah sebagai pihak utama. Aku pikir itu saja sudah cukup untuk menghadirkan kesunyian, dan membelakangi keramaian duniawi”. Jawabku spontan.
“Mengenai itikaf? Oke, aku setuju. Itu bisa dilakukan di mana saja. Masjid tidak selalu terbatas pada apa yang kita lihat sebagai bangunan berkubah saja. Tempat apapun bisa jadi masjid jika kita gunakan sebagai tempat bersujud kepadaNYA, asalkan bebas dari najis.”
Kali ini kami berdua sama-sama mengangguk.
“Oke, nanti selepas tarawih di masjid aku langsung pulang, itikaf di kamar saja. Kita lanjut diskusikan sebelumnya”. Ucapku.
“Sepertinya kita harus tarawih di rumah saja, kau tak lihat hujan deras di luar?” ucap Dani sambil mengarahkan mataku menuju luar jendela.
“ah sebal, kenapa hujan selalu datang di waktu yang tak tepat, padahal aku ingin sekali hadir di masjid malam ini.” Gerutuku kesal.
“hahaha, lagi-lagi kau membuatku ketawa San.”
“Kenapa?” Tanyaku heran.
“Caramu menyalahkan hujan. Hujan itu bukannya sunatullah? Dia hanya mengikuti hukum gravitasi, Itu sudah ketentuanNYA. Ah, semakin lucu San, Tuhan kita adalah kepentingan kita.”
“Aku tak paham maksudmu?”
“Cara kamu menyalahkan hujan, caraku menunda sholat. Hujan kamu salahkan, sholat aku tunda-tunda dengan dalih macam-macam. Ah, semua jadi terlihat salah dan terlihat benar kalau dibenturkan dengan kepentingan kita. Tuhan tidak kita libatkan.”
Kali ini kami sama-sama terdiam. Diskusi yang melelahkan.*** Terinspirasi dari tausyiah Cak Nun di Masjid Ijtihad,Tebet, 21/08/10, catatan pinggir Goenawan Mohhamad judul “Daging”, dan kolom hikmah harian republika tgl 13/08/2010..

Tidak ada komentar: